Jakarta, Kemendikbud --- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim, meluncurkan empat program pokok kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar”, salah satunya adalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan Sistem Zonasi. Penerapan PPDB akan lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas pendidikan di berbagai daerah.
Hal tersebut diutarakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim dalam Rapat Koordinasi bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia, di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta (11/12). “Zonasi sangat penting dan kami mendukung penuh inisiatif zonasi. Oleh karena itu, beberapa waktu lalu kami berdiskusi intensif dengan guru, kepala sekolah, pengawas, dan seluruh stakeholder pendidikan baik di dalam maupun luar negeri, supaya sistem zonasi dapat kita rancang lebih baik lagi,” terang Mendikbud. Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen. Sedangkan untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah. Komposisi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2019, memberikan penambahan porsi untuk jalur prestasi dan afirmasi. “Kebijakan zonasi esensinya adalah adanya (jalur) afirmasi untuk siswa dan keluarga pemegang KIP yang tingkat ekonominya masih rendah, serta bagi yang menginginkan (adanya) peningkatan jalur prestasi sampai maksimal 30% diperbolehkan,” kata Mendikbud. Terbitnya Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019, kata Mendikbud, salah satunya mengakomodir aspirasi orang tua yang ingin prestasi anaknya lebih dihargai dalam menentukan pilihan sekolah terbaik. “Banyak ibu-ibu yang komplain anaknya sudah belajar keras untuk mendapat hasil yang diinginkan. Jadi (aturan) ini adalah kompromi di antara kebutuhan pemerataan pendidikan bagi semua jenjang pendidikan, sehingga kita bisa mengakses sekolah yang baik dan juga kompromi bagi orangtua yang sudah kerja keras untuk (anaknya) mencapai prestasi di kelas maupun memenangkan lomba-lomba di luar sekolah, di mana mereka bisa mendapatkan pilihan bersekolah di sekolah yang diinginkan,” ungkapnya pada sesi jumpa pers. Mendikbud mengatakan bahwa kebijakan ini tidak mungkin terealisasi tanpa adanya dukungan dari seluruh jajaran unit pelaksana teknis (UPT) Kemendikbud, dan pemerintah daerah, serta para pelaku pendidikan lainnya. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah daerah dan pusat dapat bergerak bersama dalam memeratakan akses dan kualitas pendidikan. “Kemendikbud tidak bisa melakukan ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi,” tekannya saat mengenalkan kebijakan “Merdeka Belajar”. Pada kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy tidak hanya memberikan apresiasi namun juga memberi semangat kepada Mendikbud atas gagasan “Merdeka Belajar”, yang salah satu poinnya adalah tentang zonasi. “Sejak dulu saya tidak menyukai kastanisasi sekolah. Dengan keberlanjutan sistem zonasi ini, malah makin bagus, kondisi di sekolah akan semakin heterogen.” Lebih lanjut, Menko Muhadjir membagi pengalamannya saat dulu bermunculan komentar negatif atas konsep zonasi yang ia terbitkan. “Beberapa pihak merasa saya mempersulit peserta didik yang berprestasi untuk mencapai masa depan yang lebih baik, karena mereka terpaksa harus masuk di lingkungan sekolah yang tidak sesuai dengan harapannya,” kenangnya. Menjawab hal itu, ia menyampaikan bahwa kebijakan yang ia ambil tersebut adalah wujud nyata dari Pancasila yang mengamanatkan bahwa idealnya pendidikan yang berkualitas harus dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. “Zonasi ini bagus, bukti bahwa negara kita berkeadilan, berasaskan Pancasila. Nilai inilah yang ingin kita tonjolkan. Nilai itu bersumber dari logika, etika, dan estetika, apa yang kita putuskan kembalikan lagi ke falsafah kita bersama, Pancasila. Oleh karena itu, jangan sampai bosan memperjuangkan hak-hak pendidikan bagi peserta didik kita,” pesannya. Zonasi Mencakup Pemerataan Kuantitas dan Kualitas Guru Zonasi tidak hanya mengatur pemerataan kualitas sekolah dan peserta didik, namun juga menitikberatkan pada peran dan komposisi guru di suatu daerah. Mendikbud mengingatkan, bahwa kebijakan ini harus diselaraskan dengan pemerataan kuantitas dan kualitas guru di seluruh daerah. “Pemerataan tidak cukup hanya dengan zonasi. Dampak yang lebih besar lagi adalah pemerataan kuantitas dan kualitas guru. Inilah yang banyak manfaatnya terhadap pemerataan pendidikan,” terang Mendikbud. Tercapainya pemerataan kualitas pendidikan adalah tugas bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah termasuk segenap pemangku kepentingan di dunia pendidikan. Menteri Nadiem berharap, melalui pertemuan ini, para pimpinan UPT Kemendikbud mencapai kata sepakat untuk mendukung terlaksananya zonasi hingga menyentuh kepada para pendidik dan tenaga kependidikan di daerah. “Pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan inisiatif lainnya oleh pemerintah daerah, seperti redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan guru. Kalau ada satu sekolah yang banyak guru berkumpul di situ (maka) lakukan distribusi yang lebih adil bagi siswa di dalam sekolah,” terangnya. Di akhir arahannya, Mendikbud mengajak para peserta mulai bergerak memetakan kuantitas guru di sekolah terlebih dahulu. “Itulah yang saya butuhkan dukungan bapak dan ibu semua untuk melakukan evaluasi paling tidak (terhadap) kuantitas guru. Mohon jadikan ini sebagai prioritas nomor satu. Bagi sekolah yang kekurangan guru, lakukan distribusi yang baik demi siswa kita,” tekannya. Hal senada juga dituturkan Menko PMK Muhadjir Effendy yang dalam pidatonya menyebutkan agar kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan baik supaya guru dapat lebih fokus pada pembelajaran siswa dan siswa pun bisa lebih banyak belajar. “Mari kita semua bersikap terbuka dan optimis dalam menyongsong perubahan ini,” pungkas Menko PMK. (*) Jakarta, 11 Desember 2019 Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Laman: www.kemdikbud.go.id Sumber : SIARAN PERS Nomor: 410/sipres/A5.3/XII/2019 Penulis : pengelola web kemdikbud
0 Comments
Dorong Kemerdekaan Belajar, Kemendikbud Lakukan Penyesuaian Ujian Sekolah dan Ujian Nasional12/12/2019 Jakarta, Kemendikbud --- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menyampaikan pada tahun 2020, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) akan diganti dengan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Sementara ujian nasional (UN) akan segera diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter pada tahun 2021.
Mendikbud menegaskan bahwa penyesuaian kebijakan perlu dilakukan untuk mengembalikan esensi dari asesmen atau penilaian yang semakin dilupakan. Yakni, untuk memberikan umpan balik bagi pemelajaran. "Konsepnya mengembalikan kepada esensi undang-undang kita untuk memberikan kemerdekaan sekolah untuk menginterpretasi kompetensi-kompetensi dasar kurikulum kita menjadi penilaian mereka sendiri," disampaikan Mendikbud dalam Rapat Koordinasi dengan para Kepala Dinas Pendidikan seluruh Indonesia di Jakarta, Rabu (11/12). "Yang lebih cocok untuk murid-murid mereka, lebih cocok untuk daerah mereka, lebih cocok untuk kebutuhan pemelajaran murid mereka," imbuhnya. Mendatang, USBN tidak hanya terpaku pada pola yang sudah dijalankan selama beberapa tahun terakhir. Namun, ujian sekolah dapat berupa tes kompetensi tertulis dan/atau bentuk penilaian lain yang lebih komprehensif seperti portofolio dan penugasan oleh guru. Kini sekolah diberikan ruang yang lebih bebas untuk menyelenggarakan sebuah asesmen mandiri yang diyakini lebih baik atau lebih holistik untuk mengukur kompetensi peserta didiknya. "Bayangkan betapa banyaknya inovasi yang bisa dilakukan guru penggerak dan kepala sekolah penggerak dengan adanya kemerdekaan ini," kata Mendikbud. Terkait kesiapan penyelenggaraan asesmen di tingkat sekolah, Mendikbud menegaskan bahwa hal tersebut menjadi hak setiap sekolah. Bilamana sekolah belum siap menyelenggarakan sesuai konsep yang baru dan masih menggunakan pola lama, tidak menjadi persoalan. "Untuk yang tidak mau berubah, menggunakan pola lama, itu silakan. Tetapi bagi yang ingin berubah, itu jangan disia-siakan," tutur Nadiem. Adapun penyusunan soal untuk asesmen yang diselenggarakan sekolah, dikatakan Mendikbud dapat bersumber dari mana saja. Asalkan mengacu pada Kurikulum 2013 dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan. "Boleh ambil dari sekolah lain, meminta opini dari dinas. Silakan. Tetapi sudah tidak boleh dipaksakan. Itu bedanya," tutur Mendikbud. Perubahan Asesmen Nasional Selain perubahan pola asesmen yang diselenggarakan sekolah, Mendikbud juga memandang perlunya mengembalikan tujuan asesmen tingkat nasional sebagai tolok ukur bagi setiap sekolah atau sebuah sistem pendidikan. Tahun 2020 menjadi tahun terakhir penyelenggaraan Ujian Nasional untuk kemudian diganti dengan sebuah sistem asesmen untuk mengukur kompetensi minimal serta survei karakter. "Secara teknis, nanti detilnya kita masih dalam pengembangan. Tetapi sudah pasti akan dilaksanakan melalui komputer. Apapun yang berstandar nasional itu harus berbasis komputer," terang Mendikbud. Asesmen pengganti UN ini dirancang untuk dilakukan pada pertengahan jenjang, misalnya pada kelas 4, 8, dan 11. "Ini tes yang harus diambil di tengah jenjang dan itu bukan untuk menjadi alat seleksi untuk murid. Dan bisa menjadi alat formatif bagi sekolahnya dan gurunya untuk memperbaiki pembelajaran," jelas Mendikbud. Hasil asesmen nasional nantinya diharapkan dapat mendorong perbaikan pembelajaran dan tidak bisa digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya. "Agar itu (hasil asesmen) dapat memberikan waktu bagi sekolah itu dan guru-gurunya untuk melakukan perbaikan yang dibutuhkan," ungkap Mendikbud. Asesmen pengganti UN ini akan lebih fokus pada keterampilan penalaran tingkat tinggi yang mendorong siswa melakukan analisis. Tiga kemampuan bernalar yang disasar di antaranya adalah kemampuan menggunakan bahasa (literasi), matematika (numerasi), serta penguatan pendidikan karakter. "Jadi, tidak ada lagi materi atau mata pelajaran yang harus dihafalkan. Satu-satunya cara adalah melakukan pemelajaran dengan baik," kata Nadiem. Sementara itu, survei karakter dijelaskan Mendikbud sebagai upaya untuk memotret pemahaman siswa yang tercermin dalam opini pribadinya. "Ini adalah keharusan. Kalau kita tidak melakukan survei karakter, maka kita sama sekali tidak mengetahui kondisi keamanan, kondisi kerukunan, kondisi akhlak dari murid kita. Padahal itu bagian dari pendidikan," terangnya. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Totok Suprayitno mengatakan bahwa pelaksanaan ujian yang diselenggarakan sekolah dan ujian nasional untuk tahun 2020 telah diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 43 Tahun 2019. Dalam Permendikbud tertanggal 10 Desember 2019 tersebut dijelaskan bahwa sistem pendidikan harus mendorong tumbuhnya praktik belajar-mengajar yang menumbuhkan daya nalar dan karakter peserta didik secara utuh. Untuk itu, maka satuan pendidikan diberikan keleluasaan untuk berinovasi dalam menciptakan lingkungan belajar yang berpihak pada peserta didik. Salah satunya disebutkan oleh Totok adalah melalui asesmen yang digunakan untuk melakukan perbaikan pada pemelajaran. Ragam soal yang akan diujikan dalam asesmen pengganti UN berupa kombinasi dari berbagai variasi model "Variasinya bisa banyak. Kombinasi antara esai, pilihan benar salah, mengurutkan, re-arrange, juga jawaban pendek. Tidak hanya satu jawaban," kata Kabalitbang. Kendati telah menetapkan penyesuaian kebijakan terkait asesmen nasional pengganti UN, tetapi sampai saat ini Kemendikbud belum menentukan nama asesmen dan survei karakter tersebut. "Nanti kita carikan nomenklatur yang pas dan mudah diingat. Intinya sekarang yang bisa disampaikan, pengganti UN itu adalah Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter," ungkap Totok. Respons Pemerintah Daerah "Saya ingin membuktikan kepada Bapak dan Ibu, bahwa proses pembelajaran di tingkat apapun membutuhkan interaksi, membutuhkan gotong royong, membutuhkan debat, butuh diskusi, dan butuh pemikiran kritis," disampaikan Mendikbud usai mendengarkan pemaparan beberapa perwakilan kelompok dalam sesi diskusi untuk penyampaian tanggapan terhadap program "Merdeka Belajar" yang baru saja disampaikannya. Mendikbud Nadiem mengetahui ada pihak yang mempertanyakan mengenai kesiapan guru dan sekolah dalam melaksanakan program "Merdeka Belajar". Namun, ia berpesan kepada para Kepala Dinas yang hadir agar tidak memandang remeh atau pesimis kepada para guru. "Jangan meremehkan guru-guru dan kepala sekolah kita," ujarnya. Mendikbud meminta agar publik dan para pembuat kebijakan meyakini bahwa proses pembelajaran di dalam kelas perlu dilakukan dengan diawali reinterpretasi kurikulum dan asesmen. "Kalau guru-guru tidak melalui ini, maka tidak akan ada proses pemelajaran di dalam kelas. Ini kuncinya," jelas Mendikbud Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadisdikbud) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) Sigit Muryono menyampaikan apresiasinya terhadap empat penyesuaian kebijakan yang disampaikan Mendikbud. "Saya menyambut baik. Tetapi perlu dilengkapi dengan revitalisasi sistem. Keterkaitan antara semua komponen," tuturnya. "Harus ada sosialisasi pemahaman guru, kepala sekolah, pengawas, termasuk pejabatnya," imbuh Kadis Sigit. Sigit berharap agar pemerintah pusat terus melakukan pendampingan penguatan kapasitas guru. Khususnya dalam melakukan asesmen atau penilaian dalam mengukur kompetensi siswa. Baik dari ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. "Itu guru kuncinya. Guru-guru harus ditingkatkan pengetahuan dalam penilaian. Bahwa menilai itu bukan sekadar mengukur. Ada banyak aspek di dalam penilaian, di dalam memberikan evaluasi terhadap peserta didik," tutur Sigit. Menindaklanjuti arahan Mendikbud, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kaltara siap melakukan langkah-langkah strategis terkait guru. Dijelaskan Sigit, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kaltara akan melakukan revitalisasi Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) serta Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS). Salah satu wujud konkretnya adalah mendorong kemitraan asosiasi profesi guru dengan perguruan tinggi dalam melakukan riset pengembangan. "Kemitraan MGMP dan KKG (dengan perguruan tinggi) itu dapat berupa penelitian tindakan kelas, bisa kerja bersama, bisa untuk pendalaman materi, dan lain sebagainya," kata Kadisdikbud Provinsi Kaltara. Lebih lanjut, Sigit menyampaikan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang telah diupayakan oleh pemerintah daerah tidak akan sia-sia. "Yang tadinya (fasilitas TIK) awalnya untuk memenuhi kepentingan ujian nasional, sekarang kita breakdown lebih luas. Untuk pemelajaran, untuk media bagi guru, kemudian penguatan untuk pengembangan profesi guru," terangnya. Ditambahkan Sigit, mendatang, penyampaian rencana kerja dan laporan kinerja guru ataupun sekolah di Provinsi Kaltara dapat difasilitasi dengan perangkat TIK dan akses Internet yang telah disediakan di setiap sekolah. Hal ini sejalan dengan semangat Mendikbud untuk menyederhakan kewajiban administrasi guru. Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tolikara, Papua, Mikael Ury, pada prinsipnya mendukung program Mendikbud. Tetapi, ia berharap adanya penguatan dan pendampingan dari pemerintah pusat. Sebagai pengelola pendidikan di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), Kadisdik Ury mengatakan bahwa Kabupaten Tolikara masih memerlukan dukungan penyediaan guru dan pembiayaan, serta sarana prasarana pendidikan. (*) Jakarta, 11 Desember 2019 Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Laman: kemdikbud.go.id Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri Facebook: fb.com/kemdikbud.ri Youtube: KEMENDIKBUD RI #IndonesiaMaju #MerdekaBelajar Sumber : SIARAN PERS Nomor: 411/Sipres/A5.3/XII/2019 Penulis : pengelola web kemdikbud |
Klik tombol di atas untuk ke website Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
Catatan:Jika ada pertanyaan, dapat langsung menghubungi kami Archives
July 2023
Categories |